Catatan Iranda Novandi
MINGGU, 30 Juni 2013. Pagi itu, jam menunjukan pukul 08.30
menit. Mataharipun sudah memperlihatkan keperkasaanya menyinari bumi. Namun,
suasana sejuk masih menyelimuti pori-pori bahkan terkadang menyucuk hingga ke
tulang.
Hari
itu, saya bertindak sebagai supir cadangan menggantikan supir utama yang sedang
berhalangan. Di sisi kiri saya duduklah seorang fotografer kawakan negeri ini,
Oscar Mutuloh yang juga penanggungjawab Galeri Foto LKBN Antara, di jok
belakang duduk gaet utama Darmawan Masri yang juga panitia lomba foto Budaya
“Gayo dalam Bingkai” 2013 dan Tarmizy Harva, Fotografer Reurters berdarah Aceh yang
kini menetap di Medan Sumatera Utara (Sumut).
Perjalanan
pagi itu yang tujuan utama Pante Menye untuk berburu foto para joki melatih
kudanya di bibir Danau Laut Tawar yang merupakan spot ketiga untuk lomba foto budaya. Sehari sebelumnya sudah
dilakuka pemotretan di kilang (pubrik) kopi Baburrayan di Weih Nareh Kecamatan
Pegasing dan Pantan Terong.
Baru
sekitar 500 meter keluar hotel, Oscar langsung berceloteh “keren”. Satu kata
ini terus diucapnya berulang kali. Hingga kami tiba di lokasi Ujung Karang guna
melihat posil manusia pra sejarah yang pernah menetap di dataran tinggi Gayo,
Aceh Tengah ini.
“Sudah
lama ya ini ditemuka,” ujar Oscar. “Sudah beberapa tahun,” jawab Darmawan. “Kog
anak-anak (wartawan Antara-pen) ngak ada motret ya,” balas Oscar kembali sambil
terus larut mengabadikan peninggalan bukti sejarah tersebut secara berulang
kali dengan kamare sakunya.
Setelah
hampir memakan waktu 30 menit dilokasi Ujung Karang, perjalan kami lanjutan
kembali ke Pante Menye. Dalam perjalan tersebut kembali kata “keren” berulang
kali disebutnya saat melihat sisi kiri mobil yang terhampar luas Danau Lut
Tawar. Kata-kata keren tersebut secara berulang kali pula di timpali dengan
kata “Pantan Terong” dengan intonasi suara yang berat dan nge-bass.
Saat
melintasi Ujung Paking, bertambah satu laki kata yang di ucapnya yakni “gila”.
Kata-kata inipun terus menjadi pembendaharaan kata yang terus berulang di
ucapkan. Hanya saja kata gila ini ditimpali dengan kata keren, sedangkan di Pantan
Terong pengucapan kata-kata tersebut mulai berkurang.
Hanya
saja, karena hampir sepanjang perjalanan kondisi yang ditemui dengan lintasan
yang tak layak pakai, yakni rusak dan hancurnya jalan. Oscra merasa sedih dan
prihatin. Sebab dengan potensi yang besar ini, sangat sayang jika sarana dan
prasana jalan yang hancur lebur.
Bangunan masjid di Bener Meriah rata dengan tanah pascagempa |
“Lo
aja yang jadi bupati…, pasti beres ini urusan wisata,” kelakar Oscar kepada ku.
“ntar bang, lima tahun lagi, biar saya sama Meiji (Tarmizy Harva) jadi bupati
dan wakil bupati disini,” jawab ku tanpa beban, sehingga memecahkan tawa kami
ber empat di dalam mobil berstatus rental tersebut.
“Gila
banget ni Gayo, sayangkan kalau di cuekin begini aja,” ujar Oscar lagi sambil
matanya tak pernah lepas dari hamparan luas danau Laut Tawar dan terkadang
sesekali menyelinap ujung matanya ke pergunungan yang ada disekitarnya yang
masih diselimuti awan tipis sehingga menambah suasana eksotik.
Rasa
kagum Oscar ini tidaklah berlebihan. Memang begitulah realitanya. Aceh Tengah
memang mengandung banyak pesona dan potensi yang terkesan di cuekin. Apalagi
rasa kagum tersebut dilatar belakangi bahwa ini merupakan kali pertama ia
mengginjakan ke bumi yang berjulukan “sekeping tanah dari surga”.
Usai
kegiatan “lomba foto Budaya “Gayo dalam Bingkai” 2013, Oscar dan Meiji (sapaan
akrab Tarmizy Harva) kembali ke Jakarta dan Medan. Saya memutuskan untuk
kembali ke Banda Aceh pada 2 Juni.
Menjelang
siang, pada 2 Juni tersebut. Dengan saya bersama keluarga, istri dan tiga
bidadari kecilku bergerak menuju Banda Aceh. Saat memasuki kawasan Cot
Panglima, Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen. Dari belakang kemudi Komando
keluaran rakitan 1992, terasa ada guncangan hebat. Namun, hal itu tak ku
hiraukan, karena memang kondisi jalan lintas Takengon-Bireuen di Cot Panglima
itu sedang dalam masa perbaikan.
Baru
beberapa menit menghilangkan rasa kawatir akan guncangan hebat yang saya
rasakan di dalam mobil tersebut, tiba-tiba orang-orang yang berada di gubuk
dipinggir jalan orang berhamburan sambil berteriak-teriak.
Karena
kawatir terjadi apa-apa, saya terus memacu mobil kijang butut tersebut. Sebab,
kawasan tersebut memang terkadang sering terjadi tindak kriminal. Sekitar pukul
15.00 wib. Kami tiba di Bireuen. Saat itu juga puluhan SMS masuk lewat handphone ku. Dan mengabarkan, kalau
telah terjadi gempa hebat di Gayo.
Saat
itu juga, pikiran menjadi kalut. Pasalnya, ibu ku sedang berada disana.
Berulang kali ku hubungi tak bisa tersambung. Begitu juga adik bungsunya Nanda
Mukzizatien juga tak bisa dihubungi, padahal ia hari itu sedang berada
dikawasan Pondok Baru menghadiri pesta pernikahan temannya.
Akhirnya
jelang pukul 16.00 wib, aku berhasil menghubungi adik ku Nanda dan mengabarkan
sedang menuju kampung di Desa Kung Kecamatan Pegasing dan mengabarkan ibu dalam
kondisi sehat, tanpa ada kurang satu apapun. Hanya saja beberapa perabot rumah
tanggal di rumah mengalami kerusakan akibat terjatuh.
Kondisi Masjid Baitusalihin, Blang Mancung Pascagempa |
Sejak
saat itu, komunikasi dengan Takengon, terus intens saya lakukukan. Salah
satunya dengan Khalisuddin, Pemimpin Redaksi (Pemred) LintasGayo.co. Atas
dasar, rasa terpanggil untuk ikut mengawal Gayo pasca gempa, saya diminta untuk
menulis khusus di LintasGayo.co.
Maka
sejak saat itu pula saya kerab menulis catatan ringan, sekaligus kritik, saran
dan pendapat dalam membangun kembali Gayo pascagempa. Mengingat saya sebagai
wartawan Analisa Medan, maka sulit rasanya kalau saya memakai nama asli dari
setiap tulisan. Maka, saya memutuskan untuk memakai nama Aman Zaiza. Sebab,
dalam tradisi dan adat masyarakat Gayo, bagi seorang bapak, akan dipanggil
dengan kata Aman dan menambalkan anaknya sulung di belakang kata Aman tersebut.
Karena anak sulung saya Zaizafuun Hulwa, maka saya pakai nama Aman Zaiza.
Semua
tulisan itu dimuat di LintasGayo.co dalam rubrik SaraSagi. Rubrik SaraSagi ini,
bisa dikatakan, tulisan pojok spesial, yang ditulis oleh wartawan termasuk
penulis lepas yang isinya ditulis secara ringan, namun kerab menyentil, unik
dan menarik.
Saat
ini, memasuki tahun ke dua pascagempa. Semua tulisan itu saya kumpulkan dalam
satu buku. Semoga tulisa-tulisan ini bisa menjadi refrensi bagi banyak pihak
dalam menyikapi pascabencana, terutama gempa. Apalagi, Aceh dan sebagian besar
wilayah Indonesia berada dikawasan lintasan jalur gempa.
Semoga
buku ini bukan yang pertama, namun akan lahir
banyak buku-buku lain tentang kebencanaan di Gayo. Terutama dari teman-teman
wartawan dan para penulis lainnya di Gayo. Sebab, merekalah yang berada di
garis depan saat meliput bencana gempa, tentunya banyak yang dilihat, dirasakan
dan didengar langsung dari sumber utama. Sehingga bisa menjadi pembelajaran
berharga bagi semua orang, khususnya masyarakat Gayo.
Tulisan ini merupakan Prolog dari Buku: Gayo 6,2 SR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar