60 Jam Sebelum Gempa -- kilas balik 4 tahun Gempa Gayo --

Catatan Iranda Novandi
MINGGU, 30 Juni 2013. Pagi itu, jam menunjukan pukul 08.30 menit. Mataharipun sudah memperlihatkan keperkasaanya menyinari bumi. Namun, suasana sejuk masih menyelimuti pori-pori bahkan terkadang menyucuk hingga ke tulang.
 Dari sebuah hotel yang jaraknya hanya sekitar 100 meter dari areal terminal lama di kota Takengon. Kami bergerak menuju Pante Menye di Kecamatan Bintang, Kabupaten Aceh Tengah yang jaraknya sekitar 17 km jika menyusuri pinggiran danau dari arah Mendale.

Hari itu, saya bertindak sebagai supir cadangan menggantikan supir utama yang sedang berhalangan. Di sisi kiri saya duduklah seorang fotografer kawakan negeri ini, Oscar Mutuloh yang juga penanggungjawab Galeri Foto LKBN Antara, di jok belakang duduk gaet utama Darmawan Masri yang juga panitia lomba foto Budaya “Gayo dalam Bingkai” 2013 dan Tarmizy Harva, Fotografer Reurters berdarah Aceh yang kini menetap di Medan Sumatera Utara (Sumut).

Perjalanan pagi itu yang tujuan utama Pante Menye untuk berburu foto para joki melatih kudanya di bibir Danau Laut Tawar yang merupakan spot ketiga untuk lomba foto budaya. Sehari sebelumnya sudah dilakuka pemotretan di kilang (pubrik) kopi Baburrayan di Weih Nareh Kecamatan Pegasing dan Pantan Terong.

Baru sekitar 500 meter keluar hotel, Oscar langsung berceloteh “keren”. Satu kata ini terus diucapnya berulang kali. Hingga kami tiba di lokasi Ujung Karang guna melihat posil manusia pra sejarah yang pernah menetap di dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah ini.

“Sudah lama ya ini ditemuka,” ujar Oscar. “Sudah beberapa tahun,” jawab Darmawan. “Kog anak-anak (wartawan Antara-pen) ngak ada motret ya,” balas Oscar kembali sambil terus larut mengabadikan peninggalan bukti sejarah tersebut secara berulang kali dengan kamare sakunya.

Setelah hampir memakan waktu 30 menit dilokasi Ujung Karang, perjalan kami lanjutan kembali ke Pante Menye. Dalam perjalan tersebut kembali kata “keren” berulang kali disebutnya saat melihat sisi kiri mobil yang terhampar luas Danau Lut Tawar. Kata-kata keren tersebut secara berulang kali pula di timpali dengan kata “Pantan Terong” dengan intonasi suara yang berat dan nge-bass.

Saat melintasi Ujung Paking, bertambah satu laki kata yang di ucapnya yakni “gila”. Kata-kata inipun terus menjadi pembendaharaan kata yang terus berulang di ucapkan. Hanya saja kata gila ini ditimpali dengan kata keren, sedangkan di Pantan Terong pengucapan kata-kata tersebut mulai berkurang.

Hanya saja, karena hampir sepanjang perjalanan kondisi yang ditemui dengan lintasan yang tak layak pakai, yakni rusak dan hancurnya jalan. Oscra merasa sedih dan prihatin. Sebab dengan potensi yang besar ini, sangat sayang jika sarana dan prasana jalan yang hancur lebur.
Bangunan masjid di Bener Meriah
rata dengan tanah pascagempa

“Lo aja yang jadi bupati…, pasti beres ini urusan wisata,” kelakar Oscar kepada ku. “ntar bang, lima tahun lagi, biar saya sama Meiji (Tarmizy Harva) jadi bupati dan wakil bupati disini,” jawab ku tanpa beban, sehingga memecahkan tawa kami ber empat di dalam mobil berstatus rental tersebut.

“Gila banget ni Gayo, sayangkan kalau di cuekin begini aja,” ujar Oscar lagi sambil matanya tak pernah lepas dari hamparan luas danau Laut Tawar dan terkadang sesekali menyelinap ujung matanya ke pergunungan yang ada disekitarnya yang masih diselimuti awan tipis sehingga menambah suasana eksotik.

Rasa kagum Oscar ini tidaklah berlebihan. Memang begitulah realitanya. Aceh Tengah memang mengandung banyak pesona dan potensi yang terkesan di cuekin. Apalagi rasa kagum tersebut dilatar belakangi bahwa ini merupakan kali pertama ia mengginjakan ke bumi yang berjulukan “sekeping tanah dari surga”.

Usai kegiatan “lomba foto Budaya “Gayo dalam Bingkai” 2013, Oscar dan Meiji (sapaan akrab Tarmizy Harva) kembali ke Jakarta dan Medan. Saya memutuskan untuk kembali ke Banda Aceh pada 2 Juni.

Menjelang siang, pada 2 Juni tersebut. Dengan saya bersama keluarga, istri dan tiga bidadari kecilku bergerak menuju Banda Aceh. Saat memasuki kawasan Cot Panglima, Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen. Dari belakang kemudi Komando keluaran rakitan 1992, terasa ada guncangan hebat. Namun, hal itu tak ku hiraukan, karena memang kondisi jalan lintas Takengon-Bireuen di Cot Panglima itu sedang dalam masa perbaikan.

Baru beberapa menit menghilangkan rasa kawatir akan guncangan hebat yang saya rasakan di dalam mobil tersebut, tiba-tiba orang-orang yang berada di gubuk dipinggir jalan orang berhamburan sambil berteriak-teriak.

Karena kawatir terjadi apa-apa, saya terus memacu mobil kijang butut tersebut. Sebab, kawasan tersebut memang terkadang sering terjadi tindak kriminal. Sekitar pukul 15.00 wib. Kami tiba di Bireuen. Saat itu juga puluhan SMS masuk lewat handphone ku. Dan mengabarkan, kalau telah terjadi gempa hebat di Gayo. 

Saat itu juga, pikiran menjadi kalut. Pasalnya, ibu ku sedang berada disana. Berulang kali ku hubungi tak bisa tersambung. Begitu juga adik bungsunya Nanda Mukzizatien juga tak bisa dihubungi, padahal ia hari itu sedang berada dikawasan Pondok Baru menghadiri pesta pernikahan temannya.

Akhirnya jelang pukul 16.00 wib, aku berhasil menghubungi adik ku Nanda dan mengabarkan sedang menuju kampung di Desa Kung Kecamatan Pegasing dan mengabarkan ibu dalam kondisi sehat, tanpa ada kurang satu apapun. Hanya saja beberapa perabot rumah tanggal di rumah mengalami kerusakan akibat terjatuh.
Kondisi Masjid Baitusalihin, Blang Mancung Pascagempa

Sejak saat itu, komunikasi dengan Takengon, terus intens saya lakukukan. Salah satunya dengan Khalisuddin, Pemimpin Redaksi (Pemred) LintasGayo.co. Atas dasar, rasa terpanggil untuk ikut mengawal Gayo pasca gempa, saya diminta untuk menulis khusus di LintasGayo.co.

Maka sejak saat itu pula saya kerab menulis catatan ringan, sekaligus kritik, saran dan pendapat dalam membangun kembali Gayo pascagempa. Mengingat saya sebagai wartawan Analisa Medan, maka sulit rasanya kalau saya memakai nama asli dari setiap tulisan. Maka, saya memutuskan untuk memakai nama Aman Zaiza. Sebab, dalam tradisi dan adat masyarakat Gayo, bagi seorang bapak, akan dipanggil dengan kata Aman dan menambalkan anaknya sulung di belakang kata Aman tersebut. Karena anak sulung saya Zaizafuun Hulwa, maka saya pakai nama Aman Zaiza.

Semua tulisan itu dimuat di LintasGayo.co dalam rubrik SaraSagi. Rubrik SaraSagi ini, bisa dikatakan, tulisan pojok spesial, yang ditulis oleh wartawan termasuk penulis lepas yang isinya ditulis secara ringan, namun kerab menyentil, unik dan menarik.

Saat ini, memasuki tahun ke dua pascagempa. Semua tulisan itu saya kumpulkan dalam satu buku. Semoga tulisa-tulisan ini bisa menjadi refrensi bagi banyak pihak dalam menyikapi pascabencana, terutama gempa. Apalagi, Aceh dan sebagian besar wilayah Indonesia berada dikawasan lintasan jalur gempa.


Semoga buku ini bukan yang pertama, namun akan lahir banyak buku-buku lain tentang kebencanaan di Gayo. Terutama dari teman-teman wartawan dan para penulis lainnya di Gayo. Sebab, merekalah yang berada di garis depan saat meliput bencana gempa, tentunya banyak yang dilihat, dirasakan dan didengar langsung dari sumber utama. Sehingga bisa menjadi pembelajaran berharga bagi semua orang, khususnya masyarakat Gayo.

Tulisan ini merupakan Prolog dari Buku: Gayo 6,2 SR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar