Lamlhom, “Pabrik” Kue “Raksasa” di Aceh Besar

Oleh: Iranda Novandi
NAMANYA Butet, seperti nama panggilan untuk anak perem­puan su­ku Batak di Sumatera Utara (Su­mut). Tapi, tidak ada sedikitpun darah Ba­tak mengalir di tubuhnya. Itu hanya nama panggilan saja sejak kecil dan melekat hingga saat ini.

Siang itu, Butet masih berkutat de­ngan tiga buah oven dan adonan kue semprong. Namun, orang Aceh me­nyebutnya kue sepit. Tangan lem­but­nya begitu terampil dalam me­nuang adonan dalam oven dan de­ngan sigap pula mengangkatnya kembali dan meng­gulungnya dalam kondisi masih panas.



 “Telapak tangan sudah tak terasa lagi panasnya, sudah kebal,” ujarnya mem­buka cerita saat Analisa berkun­jung ke rumahnya di Gampong Lamlhom, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, beberapa hari lalu.

Keterampilan membuat kue tradi­sional ini diperolehnya dari orang­tuanya. Hanya saja, menurut Butet, sebelum mengenal oven, membuat kue sepit ini dilakukan di atas pera­pian. Sekarang, seiring majunya zaman sudah beralih menggunakan alat yang modern berupa oven khu­sus.

Selama Ramadan ini, dia hampir selalu membuat kue untuk dipasarkan di Banda Aceh. Kue buatan ibu dua anak ini umumnya dibuat berdasar­kan pesanan para pelanggan yang berasal dari ber­bagai daerah di Aceh, mulai dari Banda Aceh, Lhokseu­mawe hingga Jakarta dan luar negeri.


“Mereka biasanya pesan untuk oleh-oleh,” tuturnya.

Selama Ramadan ini, dia tidak hanya membuat kue berdasarkan pesanan, tapi juga untuk dipasarkan ke Banda Aceh dan sejumah daerah lainnya untuk kebutuhan mengha­dapi Lebaran Idulfitri 1438 Hijriah.

Industri Rumah Tangga

Diungkapkan, di Gampong Lamlhom ini, umumnya para wanita menjadikan keterampilan membuat kue menjadi bisnis utama. Hampir semua rumah di gampong (desa) ini memiliki bisnis rumah tangga pem­buatan kue tradisional khas Aceh. Selain sepit, ada juga yang membuat boi (bolu Aceh), meusekat, dodol dan jenis penganan lainnya.


Usaha membuat kue lebaran yang mereka jalankan tidak hanya saat Ramadan, tapi juga pada bulan lain­nya. Namun saat Ramadan, terutama menje­lang lebaran, permintaan pasar lebih tinggi dibandingkan bulan-bulan lain.

Di luar Ramadan, ceritanya, setiap dibutuhkan modal Rp2 juta dengan produksi sekitar dua zak tepung di­tam­bah satu zak gula ukuran karung 50 kg. Dari usaha ini bisa berpeng­hasilan mencapai Rp5 juta. Namun, ketika Ramadan, dengan meningkatnya permintaan ma­syarakat akan kue lebaran, produksinyapun bertambah.

Selama Ramadan, bisa menghabiskan 20 zak tepung dan gula sampai 10 zak. Selama Ramadan ini juga, omzet penjualannya meningkat tajam, bisa mencapai Rp20 juta dengan modal sekitar Rp5 juta.

“Itu rata-rata, hasil perhitungan selama bulan Ramadan dari pengalaman setiap tahun,” ujar Butet sambil me­nambahkan, selama Ramadan dia juga tidak hanya mem­buat kue tradisional seperti sepit ini, tapi juga kue-kue yang sedang menjadi tren.

Untuk mengikuti perkembangan zaman, dengan di­bantu adiknya, Noni, Butet juga membuat kue seperti Lontong Paris, stik kentang, stik ketela ungu, kue bawang dan keripik kentang.

Masing-masing jenis kue itu dibandrol dengan harga bervariasi. Misalnya, kue semprong (sepit) yang dikemas dalam kemasan kecil ukuran seperempat kilogram dijual Rp15 ribu. Untuk paket satu kilogram dibandrol Rp80 ribu. Untuk kue Lontong Paris yang dikemas dalam kemasan kecil dijual Rp20 ribu dan kemasan besar Rp40 ribu. Sedangkan stik kentang, satu kilogram dijual Rp80 ribu. Harga yang sama juga untuk stik ketela dengan ukuran kemasan yang sama.

Menurut Noni, sebelum memulai menggeluti usaha ini, dia sudah memiliki gambaran untuk bisnis yang akan dijalan­kan pada bulan suci ini. Baginya, dengan meman­faatkan momen puasa ini, dia bersama masyarakat lainnya di Laml­hom bisa menyesuaikan produksi dengan per­mintaan pasar.

“Jadi, sebelum kita memulai usaha sudah harus ada gam­baran, apakah usaha ini cukup bagus dan menjanjikan untuk memberikan penghasilan yang lumayan,” ujar alumni PDPK Unsyiah ini

Seiring kemajuan zaman juga, Lamlhom yang sudah terkenal sebagai pusat produksi kue tradisional Aceh ini selalu menjadi incaran para penikmat kue untuk berburu ke daerah yang juga terkenal dengan kuliner eungkot paya (gulai ikan gabus khas Aceh).

Bila enggan ke Lamlhom, biasanya warga berburu berbagai kue tradisional ini di Kawasan Lampisang, Aceh Besar. Warga setempat membuka kios untuk berjualan berbagai jenis kue tradisional Aceh, persis di pinggir jalan Banda Aceh-Meulaboh, Aceh Barat.


Keberadaan Lamlhom sebagai “pabri kue raksasa” Pasalnya, karena “Kampung” kue ini, hampir semua kaum perempuan di desa tersebut memiliki usaha membuat kue di rumah masing-masing, bisa dijadikan kawasan wisata kuliner di Aceh, khususnya di Aceh Besar.

Jika Anda ingin merasakan renyahnya kue sepit buatan Butet atau yang lainnya, silakan berburu ke Lamlhom. Tak cuma sepit, tapi banyak kue tradisional khas Aceh lainnya yang diproduksi dan dijual. Silakan ke Lamlhom, sekitar 20 kilometer ke arah barat kota Banda Aceh.

Tulisan ini sudah dipublikasi di Harian ANALISA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar