Dari Sinabung Menyambung Hidup di Tanoh Gayo

Oleh: Iranda Novandi 
MENJELANG siang, Sabtu, 8 Juli, semilir angin tak mampu mem­bunuh dingin meski Matahari mulai hangat menyinari Bumi. Di tengah udara dingin yang menusuk pori-pori, sejumlah warga terlihat larut dalam aktivitasnya di kebun mereka.


Hari itu, untuk kali pertama Analisa menjejakkan kaki di sebuah dusun di perkampungan terisolir di pedalaman Kabupaten Aceh Tengah. Kampung Kala Wih Ilang, Kecamatan Pegasing.
Kampung Kala Wih Ilang
Awalnya, Kala Wih Ilang hanya sebuah dusun dari Kampung Wih Ilang. Namun, saat ini daerah pegu­nungan dengan hamparan perkebunan rakyat yang berbukit itu, dalam proses administrasi untuk dijadikan kampung definitif dengan berpisah dari kam­pung induk Wih Ilang.

Jaraknya memang tidak terlalu jauh dari Takengon, Ibu Kota Aceh Tengah. Untuk men­capai kampung penghasil cabai dan kentang itu membutuhkan waktu lebih dari satu jam. Namun, jika musim hujan, jarak tempuh bisa lebih dari lima jam, karena jalan menuju Kala Wih Ilang berubah menjadi kubangan.

Menariknya, Kampung Kala Wih Ilang yang berpenduduk 389 jiwa itu, hanya 15 persennya yang merupakan penduduk lokal dari Gayo ditambah warga pesisir Aceh. Selebihnya, ada­lah pengungsi dari Sinabung, Suma­tera Utara (Sumut).

Mereka mengungsi ke Kala Wih Ilang setelah kebun mereka hancur akibat letusan Gunung Sinabung, beberapa tahun lalu. Pilihan Kala Wih Ilang sebagai penyambung hidup ini setelah mendapat informasi dari mulut ke mulut.

“Saya sudah menetap di sini seta­hun lebih dan memiliki satu hektare kebun,” ujar Wira Barus, yang dulunya warga di kaki Gunung Sinabung.
Lahan Perkebunan Warga

Menurut Wira, dia mendapat infor­masi tentang Kala Wih Ilang dari sau­daranya yang telah lebih dulu menetap di daerah ini. Sebelum memutuskan menetap di sana, Wira lebih dulu da­tang seorang diri, tanpa membawa ke­luarganya.

Setelah melihat kondisinya yang memungkinkan untuk melanjutkan hidup karena alamnya hampir sama dengan wilayah Sinabung, tahun lalu Wira memboyong istri dan tujuh anak­nya untuk menetap di dataran tinggi Gayo tersebut.

“Kondisi alamnya hampir sama dengan Sinabung, yang cocok dita­nami kentang dan cabai,” ujarnya kepada Analisa.

Dia mengaku betah tinggal di sana dan sekarang sedang meng­garap lahan tambahan dari lahan yang diberikan pemerintah daerah. Anak-anaknya pun sudah bersekolah di Madrasah Ibti­daiyah Swasta (MIS) Kala Wih Ilang. 

Reje (kepala desa, red) Kala Wih Ilang, Mahyuddin Malau, juga mengakui, bahwa penduduknya berjumlah 134 ke­pala keluarga (KK) ini dominan meru­pakan warga yang berasal dari sejumlah daerah di Sumut, terutama Sinabung.

Mahyuddin Malau merupakan gene­rasi awal yang datang ke Tanoh Gayo, sekitar 1980-an. Saat itu dia menetap di Kampung Kala Wih Ilang, kemudian menetap sela­manya dan berkeluarga di sana. Pada 2006, saat ada pembukaan la­han seluas 500 hektare oleh Pemkab Aceh Tengah dan diberikan kepada war­­ga yang mau menetap di Kala Wih Ilang, dia pun pindah ke daerah ini sejak 2008 hingga kini.

Karena telah dianggap sebagai pen­du­duk lokal dan mahir berbahasa Gayo, dia pun dipercaya menjadi reje oleh war­ga setempat dan mempersiapkan dae­rah tersebut sebagai perkampungan defenitf.

“Daerah ini sejak dibuka sangat teri­solir. Listrik saja baru masuk setahun terakhir,” ujar Mahyuddin dan menam­bahkan, baru saat ini juga jalan dibuka dengan kondisi bebatuan dari sebe­lumnya berupa tanah liat dan saat hujan jadi kubangan hingga tidak bisa dile­wati.

Dikisahkannya, dalam tahun ini juga Kampung Kala Wih Ilang jadi perhatian sejak Kantor Wilayah Kementerian Aga­ma (Kanwil Kemenag) Aceh mem­buka keterisolasian itu dengan mem­bangun MIS Kala Wih Ilang dari ba­ngu­nan sebelumnya yang terbuat dari papan bekas dan berlantai tanah.

Bukan madrasah saja, Kanwil Ke­me­nag Aceh juga membangun sebuah musala dan nantinya dijadikan masjid. Untuk itu juga, atas permintaan masya­rakat, Kakan­wil Kemenag Aceh mem­beri nama masjid tersebut Babul Hidayah. Satu nama yang sangat dalam dan sarat makna tentunya.



Kakanwil Kemenang Aceh, HM Da­ud Pakeh, bertekad menjadikan Kam­pung Kala Wih Ilang sebagai kampung binaan. Hal tersebut sudah disampaikan langsung kepada Bupati Aceh Tengah Nasaruddin. Bahkan, saat kembali berkunjung ke Aceh Tengah, Kakanwil Kemenag su­dah menyampaikan permohonan lang­sung lewat per­nyataan tertulis dan dise­rahkan kepada Sekda Aceh Tengah Ka­ri­man­syah di Kantor Bupati Aceh Tengah.

Kepada Karimansyah, Daud Pakeh menyampaikan komitmennya untuk mem­bangun Kala Wih Ilang. Pemkab Aceh Tengah diharapkan bisa mengelu­arkan izin untuk menjadi desa binaan dan Kemenag menjadi fasilitator dalam membangun desa tersebut.

Menurut Daud Pakeh, ada beberapa pertimbangan untuk men­jadikan Kala Wih Ilang sebagai wilayah binaan, anta­ra lain, daerah tersebut masih sangat terisolir. Selain itu, tingkat pendidikan masya­rakat juga tergolong rendah sedang harapan untuk menyekolahkan anak sangat tinggi.

“Masyarakat mengharapkan adanya bimbingan keagamaan secara berke­lan­jutan,” ujar Kakanwil sambil menam­bah­kan, nantinya semua bidang di Kan­wil Kemenag membuat program kegi­atan di Kala Wih Ilang. Minimal ada dua program kegiatan di setiap bidang pada Kanwil Kemenag Aceh.

Kita berharap, bukan saja Kanwil Ke­menag Aceh yang peduli. Namun, semua pihak untuk membuka keterisolasi Kala Wih Ilang. Sebab, di sana ada “mutiara” yang tersembunyi. Sumber ekonomi rakyat dan generasi yang harus bisa mengecap pendidikan lebih baik lagi.

Tulisan ini sudah di publikasi di Harian ANALISA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar