Oleh: Iranda Novandi
MENJELAJAH wilayah tengah Aceh rasanya bagai menembus waktu yang
tak berujung. Jarak tempuh yang harus dilalui dari Banda Aceh, ibukota Aceh,
hingga menuju Aceh Tenggara setidaknya membutuhkan waktu 14-15 jam perjalanan
darat.
Jalan
lintas tengah ini melintasi tujuh kabupaten mulai Aceh Besar-Pidie-Pidie
Jaya-Bireuen, Bener Meriah, Aceh Tengah-Gayo Lues dan terakhir di Aceh
Tenggara. Di samping rentang waktu dan jarak yang ditempuh teramat lama dan
jauh, medan yang dilalui bukanlah sesuatu yang mengenakkan.
Rentang
waktu dan rentang kendali inilah yang selalu menjadi masalah besar bagi
masyarakat di pedalaman lintas tengah Aceh jika ingin berhubungan dengan
ibukota provinsi. Jalan darat adalah pilihan utama bagi masyarakat.
Danau Laut Tawar |
Memang,
saat ini menempuh jalur darat di lintasan tengah saat ini sudah mulai banyak
kemudahan. Di samping mulai mulusnya jalan yang menghubungkan Aceh Tengah-Gayo
Lues dan Aceh Tenggara, masyarakat juga bisa memanjakan matanya dengan
pemandangan yang indah. Seperti keindahan Danau Laut Tawar.
Saat melintasi wilayah perbatasan Aceh Tengah-Gayo Lues, kita juga bisa melihat
langsung gumpalan awan yang bertengger di pucuk pepohonan. Sungguh, bagaikan
berada di “negeri di atas awan”.
Jalur Berbahaya
Namun,
ada juga kendala yang harus terus diwaspadai para pengguna jalan. Bila musim
hujan, sejumlah titik longsor bisa mengancam keselamatan jiwa. Titik longsor
ini bisa ditemukan di lintasan Takengon-Blangkejeren-Kutacane.
“Bila
musim hujan, tanah dan bebatuan di perbukitan bisa longsor dan menutup badan
jalan,” ujar Yuna, sopir angkutan antarkota dalam provinsi (AKDP), mini bus
L-300.
Menurutnya,
lintasan yang paling berbahaya itu yakni lintasan Blangkejeren-Takengon yang
berjarak sekitar 200 kilometer. Karenanya, para awak angkutan bila melintasi
jalur tersebut dari Blangkejeren, memilih berangkat sekitar pukul 17.00 WIB.
Alasannya, saat melintasi Blangkejeren hingga ke perbatasan, matahari masih
bersinar terang.
Sebaliknya.
Bila berkendara dari Banda Aceh ke Blangkejeren, awak angkutan mematok sudah
berada di perbatasan Aceh Tengah-Gayo Lues di daerah Ise-ise menjelang subuh.
Dengan begitu, ketika melintasi wilayah tersebut, matahari sudah mulai
bersinar.
“Meski
hampir setiap hari kita melintasi wilayah ini, namun faktor cuaca harus
diperhatikan juga,” jelasnya.
Memang,
saat ini di wilayah tengah ini sudah ada bandar udara (bandara) yang bisa
mempersingkat jarak tempuh dan waktu. Setidaknya ada tiga bandara di wilayah
tengah ini, yakni Bandara Rembele, Kabupaten Bener Meriah; Bandara Senubung,
Gayo Lues; serta Bandara Alas Leuser, Aceh Tenggara.
Tapi,
keberadaan ketiga bandara ini bisa dikatakan belum efektif dan efisien.
Setidaknya, ada beberapa faktor utama penyebabnya. Pertama, tingkat
kesejahteraan masyarakat di wilayah tengah Aceh. Di wilayah ini, mayoritas
masyarakat bermata pencarian sebagai petani. Wilayah ini juga dikenal sebagai
daerah termiskin di Aceh.
Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS) 2016, dari 23 kabupaten/kota di Aceh, Gayo
Lues merupakan daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi, yakni 21,86
persen. Sementara, Bener Meriah berada di peringkat ketiga daerah termiskin di
Aceh dengan tingkat kemiskinan mencapai 21,43 persen.
Kedua,
penerbangan dari bandara yang ada di wilayah tengah-tenggara Aceh ini, tidak
semua dan selamanya memiliki rute langsung ke Banda Aceh sebagai pusat
pemerintahan dan ekonomi di Aceh. Semua penerbangan hanya menempuh rute menuju
Bandara Internasional Kualanamu, Deliserdang, Sumatera Utara.
Lagi-lagi,
jika masyarakat harus menempuh melalui Bandara Kualanamu, biaya yang harus
dikeluarkan masyarakat untuk berbagai urusannya di ibukota Aceh, termasuk
menjenguk anaknya yang menempuh pendidikan di berbagai perguruan tinggi di
kota tersebut cukup besar.
Melihat
kondisi daerah yang miskin ini pula, pascapelantikan Bupati Gayo Lues Muhammad
Amru, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menyempatkan duduk dengan sejumlah bupati di
wilayah tengah-tenggara. Mereka adalah Bupati Bener Meriah Ahmadi, Bupati Gayo
Lues Muhammad Amru dan Bupati Aceh Tenggara Raidin Pinim. Mereka
membicarakan masalah kemiskinan di wilayah tengah.
“Gubernur
Irwandi Yusuf terlihat memperhatikan pembangunan wilayah tengah Aceh, terutama
dalam upaya pengentasan kemiskinan,” ungkap Ahmadi yang hadir ke Gayo Lues
menyaksikan pelantikan Bupati/Wakil Bupati Gayo Lues, 3 Oktober 2017.
Selain
membahas upaya penurunan angka kemiskinan, menurut Ahmadi, Gubernur juga
mendiskusikan kompensasi hutan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) serta potensi
geothermal, serta membicarakan membuka keterisolasian daerah.
“Pak
Gubernur juga membahas wacana pembukaan jalan Lokop Serbajadi tembus Gayo Lues
dan Nagan Raya,” ungkap Ahmadi.
Kampung Ise-ise |
Bagaimanapun,
sisa nestapa di wilayah tengah ini harus bisa dituntaskan. Rentang lima tahun
mendatang, empat kepala daerah baru di wilayah tengah yang rata-rata masih muda
dan energik harus bisa menemukan cara jitu memajukan daerah mereka.
Belum
lagi masalah pendidikan yang juga tergolong masih tertinggal dan akses komunikasi
juga belum semua terjangkau. Di sebagian wilayah, seperti Pining di Gayo Lues,
atau Ise-ise di perbatasan Aceh Tengah-Gayo Lues, sama sekali belum terjangkau
jaringan.
Untuk
diingat, masalah transportasi dan perekonomian bagi rakyat, adalah pekerjaan
rumah besar yang harus bisa dituntaskan pemerintah. Jangan bicara kesejahteraan
rakyat, jika transportasi dan ekonomi rakyat belum mampu diperbaiki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar