Kemarau Datang, Hutang Melilit

Oleh: Iranda Novandi
MALANG tak bisa ditolak, untung tak bisa diraih. Itulah yang dirasakan petani padi di Aceh Besar. Kondisi ini karena sawah mereka harus mengalami gagal panen atau puso karena kemarau yang melanda Aceh, khususnya wilayah mereka, saat ini.
Kondisi sawah di Lamsayeun
Mereka yang selama ini mengandalkan hasil panen padi sebagai sumber kehidupan, harus pasrah. Gagal panen tahun ini juga membuat derita semakin panjang. Sebab, mereka pun terlilit utang yang kemungkinan besar tak terbayar.

Seorang petani padi di Lamsayeun, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, Jailani, mengungkapkan, pupus sudah harapan. Panen kali ini sama sekali tak menghasilkan.

Di bawah pohon kelapa, Jailani mengipas tubuhnya dengan potongan karton bekas dus minuman botol. Matanya menerawang jauh ke hamparan sawah. Di tengah sawah, dua pekerja tani sedang memotong padi milik Jailani.

“Sudah saya berikan ke orang sebagai  pakan ternak. Selain itupun sudah tak bisa diharapkan lagi,” ungkapnya memberi alasan mengapa padi yang ditanamnya sudah dipotong sebelum masa panen.

Di hamparan sawah seluas sekitar 1,5 hektare (ha), padi terlihat mengering. Sebagian batangnya hitam, hangus. Tanah sawah yang selama ini berair, terlihat rengkah dengan kedalaman 5-10 sentimeter.

“Cukup berat kali ini. Padi gagal panen, utang malah bertambah,” ujar bapak empat anak itu.

Diceritakannya, sawah adalah andalan utamanya selama ini. Dengan hasil sawah juga dia sekolahkan anak-anaknya. Dalam tahun ini, dia harus mengeluarkan biaya cukup besar. Pasalnya, dua anaknya masuk sekolah menengah pertama (SMP) dan menengah atas (SMA). Kebutuhan biaya masuk sekolah tersebut diperoleh dari hasil menanam padi.

Hanya saja, karena dua orang sekaligus yang masuk sekolah jenjang lebih tinggi, dia harus berutang kepada orang lain untuk mencukupi membeli seragam anak-anaknya. Kondisi sulit ini ditambah lagi saat musim tanam sebelumnya dia juga sudah meminjam uang untuk membeli pupuk.

“Saya janji, hasil panen ini membayarnya semua. Namun, apa boleh buat, janji itu belum bisa saya tunaikan,” ujarnya.
Padi dipotong sebelum waktunya

Jailani melarang Analisa untuk memotretnya saat hendak kembali membantu dua pekerja yang sedang memotong padi di sawahnya. “Enggak usah difotolah, nanti anak-anak malu lihat foto saya di koran. Cukup ditulis saja,” tuturnya.

Kemarau hebat tahun ini khusus untuk wilayah Aceh Besar telah merusakkan panen padi masyarakat. Setidaknya, sekitar 5.000 hektare tanaman padi di enam kecamatan di Aceh Besar mengalami puso dan dipastikan gagal panen.

Keenam kecamatan tersebut Kuta Cot Glie, Indrapuri, Sukamakmur, Simpang Tiga, Ingin Jaya, dan Kuta Baro. Keenam kecamatan ini dipastikan gagal panen. Karenanya, sebagian besar petani sudah memotong padi yang sedang berbulir tersebut untuk dijadikan pakan ternak.

Dampak kekeringan ini bukan saja berdampak pada sawah masyarakat. Sumber mata air dan irigasi yang ada juga mengalami kekeringan, seperti sumber mata air di kawasan Mata Ie, Kecamatan Darul Ima¬rah Aceh Besar.

Bahkan, sumber pemandian Ie Su’um (air panas) di Krueng Raya yang selama ini menjadi objek wisata wisatawan lokal maupun mancanegara juga kering. Air kolam air panas juga tidak ada air lagi.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Blang Bintang, Aceh Besar, memprediksi musim kemarau di Aceh yang sudah berlangsung dua bulan terakhir ini akan berlangsung sampai Agustus 2017.

Kepala Dinas Pertanian Aceh Besar, Ahmad Tarmizi, mengakui, sebagian besar sawah petani mengalami puso. Bahkan, dari setiap hektare tanaman padi yang puso itu kita perkirakan petani sudah mengeluarkan biaya sekitar Rp4 juta. Jadi, jika ditotal kerugian yang dialami petani di enam keca¬matan itu mencapai Rp20 miliar.

Dengan gagalnya panen di sawah seluas 5.000 hektare tersebut, tambahnya, petani di enam kecamatan itu dipastikan kehilang¬an pendapatan sekitar Rp139,5 miliar. Jumlah itu, dengan asumsi setiap hektare padi dalam kondisi normal akan menghasilkan 6,2 ton gabah.

“Dengan harga gabah saat ini Rp4,5 juta/ton, maka pendapatan petani yang hilang setiap hektare adalah Rp27,9 juta. Jadi, jika 5.000 ha, pendapatan petani yang hilang mencapai Rp139,5 miliar,” rincinya.

Krisis Air Bersih

Dampak kekeringan ini juga dialami masyarakat di ibukota Provinsi Aceh, Banda Aceh. Dampak yang sangat dirasakannya, yakni terhentinya suplai air bersih melalui PDAM Tirta Daroy. Akibatnya, banyak warga beralih menggunakan air sumur untuk konsumsi sehari-hari. Bahkan, sebagian warga terpaksa mencari air ke tetangga atau daerah lain karena tidak punya sumur yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari.

“Kami terpaksa mencari air ke daerah Lampeunerut dan pegunungan yang memiliki sumber air,” ujar Risnal, warga Lhong Raya Banda Aceh.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menilai kerusakan hutan dan lahan mencapai 960.000 ha menjadi area pertambangan legal maupun ilegal, perkebunan rakyat maupun industri, pemba¬ngunan 44 ruas jalan dalam kawasan hutan, dan proyek energi bagian dari faktor pe¬nyebab terjadinya kekeringan di Aceh.

Hilangnya debit air sungai mengindikasi ada persoalan di kawasan hulu. Sebagai daerah hilir, perubahan fungsi lahan gambut menjadi perkebunan merupakan faktor utama penyebab kebakaran di Aceh. Lahan gambut mempunyai peran penting dalam menjaga siklus air di rawa.

“Di samping itu, lahan gambut juga mempunyai daya menahan air yang tinggi sehingga berfungsi sebagai penyangga hidrologi areal sekelilingnya mencegah terjadinya banjir dan kekeringan,” jelas Direktur Walhi Aceh M Nur.

Saat lahan gambut dikonversi menjadi lahan perkebunan, lanjutnya, terlebih melakukan budidaya jenis tanaman monokultur, akan berdampak serius terhadap hilangnya fungsi alami lahan gambut tersebut. Lahan gambut akan mengering dan mudah terbakar.

Musim kemarau yang panjang dan “ekstrem” yang tengah melanda beberapa wilayah di Aceh, yang dampak beratnya sudah dirasakan oleh petani seperti Jailani, bukan tidak mungkin adalah dampak dari degradasi lahan tersebut.

Tulisan ini sudah dipublikasi di Harian ANALISA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar