Oleh: Iranda Novandi
“ANAK-anak Ayah jangan lupa salat, berdoa untuk orang tua, rajinlah mengaji
dan pelajaran sekolah. Juga berdoa untuk Ayah di sini ya, Nak. Kelak kalian
akan menjadi sukses karena kalian anak-anakku yang cerdas,” ujar lelaki paruh
baya itu.
Malam
itu, Sabtu (29/7), menjadi malam minggu yang penuh rasa suka cita. Rumah lelaki
itu, HM Daud Pakeh, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kakanwil Kemenag)
Aceh di Gampong Blang Cut, Kecamatan Lueng Bata, Banda Aceh didatangi tamu
istimewa.
Anak-anak MIS Kala Wih Ilang di rumah Daud Pakeh |
Mereka
adalah anak-anak dari Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Kala Wih Ilang,
Kecamatan Pegasing, Aceh Tengah. Selama ini, mereka hanya mengenal perbukitan,
kebun dan bertani membantu orangtuanya sembari menempuh pendidikan di sekolah
yang sebenarnya tak layak disebut sekolah.
Rutinitas
itu terus mereka jalani setiap hari. Tubuh legam terbakar matahari dan malam
diselimuti awan ditabuhi semilir angin dingin, membuat mereka tertempa. Hidup
penuh beban. Sulit melihat senyum tersungging dari bibir mereka.
Kini,
sejak diboyong ke Banda Aceh, mereka bisa tersenyum, melihat megahnya Masjid
Raya Baiturrahman (MBR) Banda Aceh, hiruk-pikuknya kota, serta melihat
anak-anak di ibukota Aceh itu bisa bersekolah dengan seragam lengkap, plus
sepatu dan tentunya uang saku yang cukup.
“Rasanya
bahagia tinggal di sini. Kami ingin sekolah di sini kelak. Tapi kami juga cinta
kampung halaman,” ujar seorang siswa MIS Kala Wih Ilang tersebut.
Anak-anak
MIS Kala Wih Ilang ini sebagian besar adalah korban letusan Gunung Sinabung,
Berastagi, Sumatera Utara (Sumut), beberapa tahun lalu. Orangtua mereka harus
menyambung hidup jauh dari kampung halaman setelah tidak ada lagi harapan
untuk bisa melanjutkan kehidupan setelah kebun dan rumah mereka hancur akibat
lahar dan awan panas Sinabung.
Kepala
MIS Kala Wih Ilang, Sulastri SHi, mengaku, siswanya sampai saat ini hanya
berjumlah 23 orang. MIS Kala Wih Ilang baru ada sampai kelas V yang jumlah
muridnya hanya lima orang. Kemudian, kelas IV ada 8 siswa,serta kelas III dan
II masing-masing 5 murid.
“Untuk
tahun ajaran baru ini, belum diketahui pasti berapa siswa kelas I karena baru
tahu saat masuk sekolah dengan diantar oleh orangtuanya,” ujar Sulastri saat
berbincang dengan Analisa di Kala Wih Ilang, 8 Juli.
Dari
23 murid tersebut, hanya lima orang yang merupakan penduduk asli Gayo, Aceh
Tengah. Selebihnya berasal dari Sumut. Meski demikian, mereka bisa bergaul
tanpa ada memandang perbedaan asal daerahnya.
Menyangkut
tenaga pendidik, Sulastri mengaku sudah memadai. MIS Kala Wih Ilang memiliki
tiga guru berstatus aparatur sipil negara (ASN) ditambah lima guru honorer
serta ada seorang operator sekolah.
Berbagi ruangan
Dalam
proses belajar mengajar, mereka juga harus berbagi kelas. Sebab, MIS Kala Wih
Ilang hanya memiliki dua ruangan yang berdinding papan bekas dan berlantai
tanah. Tapi, setelah mendapat perhatian khusus dari Kanwil Kemenag Aceh, lantai
tanah itu sudah berganti menjadi papan.
Ruang Belajar yang terbagi dua |
Dalam
menyiasati proses belajar dengan ruangan seadanya, kelas I dan II digabung
dalam satu ruangan yang dibagi dua. Bahkan, mereka memakai selembar papan tulis
untuk dua kelas. Begitu juga untuk kelas III dan IV yang digabung saat belajar.
“Sekarang
sudah ada kelas V. Kami rencanakan mereka terpisah. Semoga ruang belajar
yang dibangun Kemenag sudah rampung hingga bisa digunakan,” ujar Sulastri yang
sebe lumnya bertugas sebagai penyuluh Agama Islam di Kantor Urusan Agama
(KUA) Kecamatan Pegasing.
Dia
berharap, anak didiknya bisa menjadi orang pintar. Meski tinggal di pelosok,
pendidikan harus tetap nomor satu agar kelak mereka menjadi manusia (orang
yang berhasil). “Kami tidak punya apa-apa. Mungkin dengan ilmu mereka kelak
jadi orang yang berguna,” ujar perempuan ini yang akhirnya tak mampu
membendung air matanya.
Dikisahkannya,
awalnya dia bersama keluarga tinggal di kota kecamatan. Lalu, suami
memintanya untuk mengabdi ke MIS Kala Wih Ilang, yang dirintis oleh Drs H Thamrin,
mantan Kepala KUA Pegasing.
“Sayang
sekali Kala Wih Ilang. Di sana tidak ada sekolah. Kamu harus mengabdi di sana,”
ujar Sulastri tentang saran suaminya. Akhirnya, keputusan terberat diambil.
Pada 2011, dia bersama suami memutuskan menetap di Kala Wih Ilang.
Setelah
susah payah, akhirnya pada 2013, MIS Kala Wih Ilang didirikan dan mulai masuk
tahun ajaran pertama dengan murid hanya lima orang. Pada awal-awal berdiri,
Sulatri harus bolak-balik dari Kala Wih Ilang ke ibukota kecamatan yang berjarak
sekitar 20 kilometer dengan medan yang sangat sulit.
Agar
sekolah tetap berlanjut, dia harus mencari guru bantu. Sehingga ketika harus
ada pekerjaan yang diselesaikannya di KUA, maka guru bantu itu yang mengajar.
Tapi, saat ini Sulastri sudah total menetap di Kala Wih Ilang.
Dikatakan,
sebelum ada MIS Kala Wih Ilang ini, anak-anak bersekolah di Kampung Pantan
Musara yang berjarak sekitar tujuh kilometer dengan berjalan kaki melintasi
jalan setapak. Yang menyedihkan, saat anak-anak ini tiba di sekolahnya, sekolah
itu sudah sepi karena ternyata jam pelajaran sekolah sudah berakhir.
Mencari pahala
“Mengajar
di sini, selain pengabdian, juga hanya berharap pahala dari Yang Maha Kuasa.
Makanya, para guru lainpun mau bertahan di sini,” ungkapnya.
MIS
Kala Wih Ilang sendiri dibangun di atas tanah wakaf milik almahum H Thamrin.
Menurut Penyuluh Agama Islam (PAI) KUA Pegasing, Hasyimi, almarhum sejak
membuka lahan baru di daerah ini memang berniat mewakafkan sebagian tanahnya
untuk sekolah.
Papan tulis yang dibagi dua |
“Dulu,
penduduk di sini banyak yang mualaf karena baru pindah dari Sumut dan anak-anak
mereka tidak bersekolah. Karenanya, almarhum Thamrin berniat membuat sekolah
ini,” ujar Hasyimi kepada Analisa.
Akhirnya,
setelah sekian lama, Kala Wih Ilang mulai terbuka dari keterisolasian. Dengan
adanya kebijakan Kakanwil Kemenag Aceh membangun sekolah di desa ini agar
anak-anak bisa mendapat pendidikan lebih baik.
“Alhamdulillah,
saat ini sudah hampir rampung dua ruang belajar, yang dibangun dari dana
bantuan Kemenag Pusat. Saat ini sedang kita bangun dua ruangan dari bantuan
Kanwil Kemenag Aceh,” jelas Daud Pakeh saat berkunjung ke Kala Wih Ilang, dua
pekan lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar