Catatan: Iranda Novandi
MALAM itu, Sabtu, 4 Januari 2014 jarum jam
menunjukkan angka yang makin meninggi, sekaligus menandaikan beberapa saat lagi
akan tiba waktunya tengah malam. Ya, sekitar pukul 22.30 wib, kalau memori
ingatan ku belum salah.
Meskipun suasana malam makin larut, semarak
kegembiraan itu seakan belum mau berakhir. Seratusan masyarakat Gayo
perantauan di Banda Aceh masih larut dalam suasana suka, larut dalam jalinan
silaturrahmi. Suasana yang begitu kompak ini juga membuat Gubernur Aceh dr
Zaini Abdullah mengaku merasa bangga dengan kebersamaan masyarakat Gayo yang
sangat harmonis tersebut.
Gubernur Zaini, malam itu hadir dalam pelantikan
pengurus Keluarga Negeri Antara (KNA) yang di komandoi Jamhuri (dosen UIN
Ar-Raniry Banda Aceh). Malam itu juga berbagai kreativitas seni dan budaya Gayo
di tampilkan. Sungguh suasana yang sangat harmonis dalam bingkai symphony kebersamaan.
Belum sempat ku reguh nikmatnya rasa harmonis yang
indah itu. Dua orang yang ku kenal mendekat, dengan mengajak ku menjauh untuk
meninggalkan keceriaan yang belum usai dimainkan itu. Dengan sedikit memaksa,
kedua lelaki yang berperawakan yang sebenarnya tidak besar dan seram itu,
menggiringku ke parkiran dan masuk ke mobil.
Seketika itu juga, lelaki yang mengenakan topi itu
menghidupkan mobil dan menginjak pedal gas dan langsung tancap meninggalkan
alunan musik yang masih dibawakan grup musik “Genetic of Tanoh Gayo”.
Awak LintasGAYO |
Sebelum, sampai ke tujuan. Mobil itu berhenti di
Simpang Prada Banda Aceh. Lelaki yang duduk di jok belakang turun, untuk
membelikan makanan. Sedangkan, lelaki bertopi tadi masih duduk dibelakang
kendalisetir. Sekilas kulihat se isi mobil, kenderaan tersebut
bagaikan kenderaan “perang” karena sangat semrawut. “Sibuk kali mungkin
pemiliknya, sehingga tak sempat membersihkannya. Banyak kertas berserakan,
beberapa baju yang tercampak begitu saja.,” batin ku.
Hanya sekitar 10 menit, mobil itu kembali bergerak
ke sebuah perkampungan. Kampung itu sangat ku kenal, namanya Kampung Pineung
Banda Aceh. Setelah melalui perumahan warga, akhirnya tiba di satu lokasi.
Tampak sekilas dari luar seperti rumah biasa, namun ternyata itu adalah
penginapan atau losmen.
“Waduh, mau di ajak chek in nampaknya,” gumam ku sambil
tersenyum kecil. Ternyata di penginapan tersebut sudah ada beberapa orang
lainnya dan kali ini mereka tidak ku kenal samasekali. Namun mereka sangat
akrab seakan kami sudah berteman lama.
Sekilas ku lihat arloji di tangan kanan ku. Sudah
menunjukan pukul 23.00 lewat. Setelah mencari beberapa kamar namun tidak
sesuai. Lelaki yang bertopi tadi minta sebuah ruangan yang besar hingga bisa
memuat lebih dari lima orang. Ibu pemilik penginapan yang ku taksir sudah
berkepala lima itu akhirnya menunjuk sebuah ruangan yang bisa memuat lebih dari
lima orang.
Setelah semuanya dibenahi. Saya bersama empat
orang yang tak lain Joe Samalanga, Darmawan Masri, Ihwan dan M. Yusuf masuk ke
kamar atau ruangan tersebut. Masing-masing mereka mengeluarkan peralatan kerja
mereka dan sayapun terus berkomunikasi intensif dengan lelaki pemakai topi itu.
Lewat diskusi yang hangat, bahkan menjurus panas
itu, akhirnya kami bersepakat untuk bisa membidani lahirnya sebuah media. Ya
media itu adalah Tabloid LintasGAYO. Malam itu pula, semua embrio dipersiapkan
hingga melahirkan dummy.
Dini hari, Minggu 5 Januari 2014, pukul 03.00 wib.
Rasa lelah dan kantukpun tak bisa ku hindari. Dengan menggunakan sepeda motor
akhirnya ku tinggalkan penginapan tersebut setelah hampir empat jam melahirkan
embrio Tabloid LintasGAYO yang hingga saat ini sudah berusia dua tahun dan
memasuki tahun ketiga.
Malam Peluncuran Buku 6,2 SR |
Lelaki memakai topi yang juga Peminpin Redaksi
(Pemred) LintasGAYO, Khalisuddin pada 5 Januari itu langsung membawa dummy
Tabloid LG ke Medan dan segera di cetak bersama manejer pemasaran M. Yusuf
setelah mendapat arahan dari senior sekaligus teman almarhum ayah saya
Malamsyah, namanya Syaiful Hadi JL. Dan akhirnya tepat pada 7 Januari 2014,
tabloid itu langsung menyapa masyarakat Gayo dengan sajian perdana “Welcome Dewan Adat Gayo” menyapa pembacanya.
Belakangan saya sadari, tanggal tersebut bertepatan dengan hari kelahiran saya.
Intensitas komunikasi dengan awak LintasGAYO
sebenarnya sudah terjalin bagus, sejak Dinas Budparpora Aceh Tengah, menggelar
lomba foto “Gayo dalam Bingkai”, yang merupakan even bertaraf nasional dengan
menghadirkan juri Oscar Mutolah, pengasuh Galeri Foto LKBN Antara, Tarmizi
Harva yang saat itu masih berkerja di media asing Reuters sedangan saya diajak
menjadi juri pendamping sebagai keterwakilan lokal (Gayo).
Pascagempa itu, saya diajak Khalisuddin untuk
menulis catatan ringan tentang gempa itu dan itu saya sanggupi. Dari 30-an
tulisan itu akhirnya saya himpun dan jadikan sebuah buku yang diberi judul GAYO
6,2 SR yang pada akhir Desember 2015 lalu sudah selesai proses cetak dan
InsyaAllah akan di luncurkan pada 8 Januari 2016 bertepatan malam syukuran 2
tahun Tabloid LintasGAYO.
Dan di usia mu yang ke dua ini, pesan ku untuk mu
LintasGAYO, tetaplah jadi lentera bagi Gayo, yang bisa membawa pencerdasan bagi
masyarakat mu. Sebab, hakekat dari media itu sesuai fungsinya sebagai pemberi
informasi, tentunya yang terbaik bagi mu, masyarakat dan daerah mu. Lalu fungsi
mendidik, jadikan tagline mu bukan hanya slogan.
Ketiga, fungsi menghibur. Jadikanlah setiap beritamu
bisa membuat Gayo tersenyum. Dan terakhir, social control, jadilah media yang
senantiasa mengawasi dan menegakan kebenaran dengan menggiring Gayo ke arah
yang lebih baik di masa mendatang.
DIRGAHAYU LintasGAYO.
Penulis, wartawan Harian Analisa Banda Aceh,
asal Kampung Kung, Pegasing Aceh Tengah
Tulisan ini pernah dipublis di LintasGayo.co, 6
Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar