Damai Aceh dan Kemerdekaan dalam Filosofi Saman

Catatan Iranda novandi
TERIMAKASIH Tgk Syekh Saman. Dikau telah ajari kami berseni dan memahami makna hidup dalam setiap lekuk dan gerak dari tarian yang Dikau ciptakan pada sekitar abad XIV Masehi. Bumi dan alam Gayo, telah memberi inspirasi dalam setiap nafas dan gerak dalam tarian energik yang tercipta.

Sebagai seorang ulama besar dari dataran tinggi Gayo, Dikau telah mampu menjelma dalam diri sanubari kehidupan masyarakat. Desah nafas Gayo ada di dalam tarian itu dan kini desah nafas itu menjadi desah dunia.
Dalam desah dunia, tari Saman telah ditetapkan UNESCO sebagai Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia dalam Sidang ke-6 Komite Antar-Pemerintah untuk Pelindungan Warisan Budaya Tak benda UNESCO di Bali, 24 November 2011.

Ini artinya, bahwa dari Gayo lah Saman itu ada. Dan Saman hanya boleh ditarikan oleh laki-laki, “haram” wanita melakukannya. Serta tarian ini dilakukan dengan jumlah yang ganjil. Meskipun, jumlah ganjil ini terpatahkan dengan Rekor MURI Tari Saman yang bertajuk 10.0001.

Pada 13 Agustus lalu, 12.277 lelaki dari semua usia mulai dari anak-anak hingga orang tua, berbaur dalam satu kesatuan, bersyair dan menari bersama dalam harmonisasi yang padu nan kompak.

Ribuan pasangan mata dan Stadion Seribu Bukit, Blangkejeren Gayo Lues menjadi saksi betapa indahnya harmonisasi kehidupan itu. Meskipun jumlah penari yang tak sedikit, namun mampu berpadu satu dalam satu gerak dan lagu.

Sejarah telah membuktikan, bahwa Saman adalah media dakwah yang jitu. Tentunya, hal ini tak lepas dari kakekat dari ber-Saman itu sendiri. Bahwa Saman adalah dakwah yang mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan dan kebersamaan.

Meskipun pada awalnya, Saman ini konon hanyalah permainan rakyat yang dinamakan Pok Ane. Kemudian ditambahkan iringan syair-syair yang berisi puji-pujian kepada Allah SWT, serta diiringi pula oleh kombinasi tepukan-tepukan para penari.

Rekor yang terukir di bumi “seribu bukit” itu, pas dua hari jelang Hari Perdamaian Aceh, ke 12 pada 15 Agustus atau empat hari jelang Hari Kemerdekaan ke 72 Republik ini, 17 Agustus. Tentu ini memiliki makna yang teramat dalam.

Bagi penulis, pelaksanaan Saman yang dilaksanakan sebelum peringatan Hari Perdamaian Aceh dan Hari Kemerdekaan ini, bukanlah satu kebetulan. Namun itu semua sudah atas kehendak Allah SWT. Pasalnya, layaknya Saman 10.001 ini sudah dilaksanakan pada Nopember 2016 lalu bertetapan dengan enam tahun pengakuan UNESCO terhadap Saman.

Filosofi Damai dan Kemerdekaan
Ada filosofi tersembunyi dari pagelaran Saman yang bertajuk 10.001 ini. Filosofi itu mencerminkan dan mengajarkan kita  akan makna dari Damai Aceh yang telah berusia 12 Tahun dan republik ini yang telah berusia 72 tahun.

Filosofi yang tersirat itu dari lima jenis syair yang terdapat dalam tarian Saman, yakni  Rengum, Dering, Redet, Syech dan Saur. Lima jenis nyanyian ini bersatu pada dalam satu kekompakan bahwa kedamaian dan kemerdekaan tidak bisa dipisahkan antara satu komponen dengan komponen lainnya.

Rengum, adalah syair awal yang hanya berbunyi auman sebagai tanda awal oleh pengangkat sebagai tanda syair kehidupan ini dimulai. Dalam makna perdamaian Aceh dan kemerdekaan, bahwa ada seorang yang menentukan arah mau kemana dibawa negeri ini (Aceh atau Indonesia).

Dering, setelah pengangkat (pemimpin) melepaskan auman dalam regnum, lalu diikuti oleh semua penari. Dalam makna perdamaian Aceh dan kemerdekaan, ini menunjukan rakyat bersatu padu mengikuti apa yang dikatakan pemimpinannya.

Redet, merupakan syair singkat dengan suara pendek yang dinyanyikan oleh seorang penari pada bagian tengah penari. Dalam makna perdamaian Aceh dan kemerdekaan, bahwa penari dalam hal ini merupakan rakyat, berhak juga menentukan suara mereka setelah pemimpin memberi Rengum dan Dering.

Ini juga berarti, kebebasan rakyat bersuara tidak bisa dibatasi demi terciptanya harmonisasi kehidupan dalan menjalankan roda pemerintahan. Tidak ada pembungkaman di sini. Semunya, demi kebersamaan.

Syekh, yaitu lagu yang dinyanyikan oleh seorang syech (pemimpin-pen) dengan suara panjang tinggi melengking, biasanya sebagai tanda perubahan gerak. Dari sinilah awal gerakan-gerakan meliuk-liuk yang dilakukan penari, ditingkahi tepukan tangan dan dada.

Dalam makna perdamaian Aceh dan kemerdekaan, setelah kebebasan bersuara yang dilakukan oleh rakyat, maka pemimpin menentukan kebijakan untuk melakukan satu kebijakan. Ini juga bermakna, bahwa kebijakan yang dilakukan seorang pemimpin diambil setelah mendengarkan suara rakyat (redet). Tidak ada keputusan atau kebijakan sepihak dalam hal ini.

Saur, merupakan syair yang diulang bersama oleh seluruh penari setelah dinyanyikan oleh penari solo. Dalam makna perdamaian Aceh dan kemerdekaan, semua kebijakan yang diambil oleh pemimpin haruslah dilakukan bersama dengan rakyat. Karena rakyatlah yang menjadi sentral kebijakan tersebut.
Sebagaimana pepatah dalam bahasa Latin: “Vox Populi Vox Dei”. Bahwa suara rakyat itu adalah suara Tuhan. Ini menunjukan, bahwa suara rakyat adalah suara yang harus diikuti kebenarannya, bukan dikebiri.

Saman Memaknai Damai Aceh
Sedangkan, dalam tarian Saman itu, juga mengandung makna tersirat yang amat  dalam. Bahwa dalam melakukan tarian itu, semua penari harus menanggalkan ego masing-masing. Jika tidak, maka tarian ini akan bisa menimbulkan korban jiwa, sebab tarian bisa jadi kacau dan kepala dan badan para penari bisa saling berbenturan hingga merusak sebuah makna kebersamaan dan kekompakan.
Begitu juga dalam memaknai Damai Aceh ini, semua ego dari para pihak harus bisa ditanggalkan, demi kelanggengan sebuah perdamaian yang diraih dengan tetesan darah serta korban jiwa yang tak sedikit.

Bila ego telah berhasil ditanggalkan, maka semua penari mulai dari syech dan pengikutnya harus mengedepankan sikap komitemen atau istiqamah dalam bersyair  dan menaridemi terciptanya harmonisasi berseni yang bermakna.

Hal ini jugalah yang dilakukan dalam menjaga dan merawat damai Aceh ini. Bahwa, salah satu cita-cita perdamaian itu, untuk menciptakan kesejahteraan dan kedamaian di bumi Aceh. Komitmen inilah yang harus dipegang bersama, hingga akhir zaman nanti.

Setelah ego dihilangkan dan tetap komitmen atau istiqamah, maka keberhasilan yang dicapai adalah keberhasilan bersama. Bukan hanya syech atau seorang penari yang dinyatakan paling hebat. Namun semua anggota tim dalam ber-Saman itulah yang terhebat. Dan kesuksesan yang diraih adalah kesuksesan bersama bukan perseorangan.
           
Begitulah hendaknya juga dalam memaknai arti sebuah perdamaian. Bahwa kedamaian ini adalah milik seluruh masyarakat Aceh, bukan milik segelintir atau sekelompok orang. Memang tulisan ini sederhana saja, namun implementasinya terasa berat tentunya. Namun, itu semua bisa dijadikan ringan, bila kita selalu bersama demi Aceh yang damai, aman serta sejahtera. InsyaAllah.

Terakhir, terimakasih Tgk Syekh Saman. Karya mu tujuh abad lalu ulama ku, telah menginpirasikan kami dan telah mengajari kami arti sebuah kehidupan saat ini.[] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar